Allah SWT berfirman,
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah kami jadikan sebahagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi sebahagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan” (QS Al An’am:129).
Tentang makna ‘nuwalli’ yang ada dalam ayat di atas ada empat pendapat ahli tafsir.
Pertama, Kami jadikan sebahagian orang yang zalim sebagai kekasih bagi sebahagian yang lain. Pendapat ini diriwayatkan oleh Said dari Qotadah.
Kedua, Sebahagian orang yang zalim itu kami jadikan mengiringi yang lain di neraka disebabkan amal yang mereka lakukan. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ma’mar dari Qotadah.
Ketiga, Kami jadikan orang yang zalim sebagai penguasa bagi yang lain. Pendapat ini diungkapkan oleh Ibnu Zaid.
Keempat, Kami pasrahkan sebahagian orang yang zalim kepada yang lain dalam ertikata tidak kami tolong. Pendapat ini disebutkan oleh al Mawardi.
Sedangkan yang di maksud dengan ‘amal’ dalam ayat di atas adalah berbagai bentuk maksiat (Zadul Masir fi ‘Ilmi Tafsir karya Ibnul Jauzi 3/124, cetakan ketiga Al Maktab Al Islamy tahun 1984/1404).
Ibnu ‘Asyur mengatakan,
“Ayat tersebut boleh difahami mencakupi seluruh orang yang zalim. Sehingga ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah SWT akan menjadikan seorang yang zalim akan dikuasai dan dizalimi oleh orang selainnya. Inilah penafsiran yang diberikan oleh Abdullah bin Zubair, salah seorang shahabat Nabi SAW, ketika beliau berkuasa di Mekah. Ketika Ibnu Zubair mendengar bahwa Abdul Malik bin Marwan membunuh ‘Amr bin Said al Asydaq setelah ‘Amr memberontak terhadap Abdul Malik, beliau naik ke atas mimbar. Di sana Ibnu Zubair berkata,
“Ketahuilah bahwa Ibnu Zarqa’-iaitu Abdul Malik bin Marwan. Marwan diberi gelar Azraq dan Zarqa’ yang bererti biru karena kedua matanya berwarna biru- telah membunuh Lathim Syaithan (orang yang ditampar oleh setan yaitu ‘Amr bin Said)” kemudian Ibnu Zubair membaca ayat di atas.
Lathim Syaithon adalah gelar ejekan yang diberikan untuk Amr bin Said disebabkan dua ujung mulutnya tidak sama lurus. Banyak pihak yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan setan pernah menamparnya.
Oleh karena itu, ada orang yang mengatakan bahwa jika orang yang zalim itu tidak menghentikan kezalimannya maka dia akan ditindas oleh orang zalim yang lain.
Fakhruddin Ar Razi mengatakan,
“Jika rakyat ingin bebas dari penguasa yang zalim maka hendaklah mereka meninggalkan kezaliman yang mereka lakukan” (Tafsir At Tahrir wat Tanwir karya Ibnu Asyur 8/74 cetakan Dar Tunisiah 1984).
Dalam Tafsirnya yang sebahagiannya telah dikutip oleh Ibnu Asyur di atas, Ar Razi mengatakan, “Ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan jika rakyat sesebuah negara itu zalim (suka maksiat, korupsi dll) maka Allah akan mengangkat untuk mereka penguasa yang zalim seperti mereka juga. Jika mereka ingin terbebas dari kezaliman penguasa yang zalim maka hendaknya mereka juga meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan.
“Ayat di atas juga menunjukkan bahwa di tengah-tengah suatu komuniti manusia harus ada yang menjadi penguasa. Jika Allah tidak membiarkan orang-orang yang zalim tanpa pemimpin meski pun sesama orang yang zalim, maka tentulah Allah tidak akan membiarkan orang-orang solih tanpa pemimpin yang mendorong rakyatnya agar semakin soleh.
Ali bin Abi Thalib berkata,
لا يصلح للناس إلا أمير عادل أو جائر ، فأنكروا قوله : أو جائر فقال : نعم
يؤمن السبيل ، ويمكن من إقامة الصلوات ، وحج البيت
“Tidaklah baik bagi suatu masyarakat jika tanpa pemimpin, baik dia adalah orang yang solih ataupun orang yang zalim”.
Ada yang menyanggah beliau mengenai kalimat ‘atau pun orang yang zalim’. Ali menjelaskan,
“Memang dengan sebab penguasa yang zalim jalan-jalan terasa aman, rakyat boleh dengan tenang mengerjakan solat dan menunaikan haji ke Ka’bah”
(Tafsir Al Kabir wa Mafatih Al Ghaib karya Muhammad ar Razi 13/204 cetakan Dar al Fikr 1981/1401).
No comments:
Post a Comment